Borobudur adalah nama sebuah
candi Buddha yang terletak di
Borobudur,
Magelang,
Jawa Tengah,
Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100
km di sebelah barat daya
Semarang, 86 km di sebelah barat
Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi berbentuk
stupa ini didirikan oleh para penganut
agama Buddha Mahayana sekitar tahun
800-an Masehi pada masa pemerintahan
wangsa Syailendra.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi
dengan 2.672 panel
relief dan aslinya terdapat 504
arca Buddha.
[1]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan
ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang
didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi
teratai sempurna dengan
mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan
Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat
ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[2]
Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil
terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah
Kāmadhātu (ranah hawa nafsu),
Rupadhatu (ranah berwujud), dan
Arupadhatu
(ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui
serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460
panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14
seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam.
[3] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh
Sir Thomas Stamford Raffles,
yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan
dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga
1982 atas upaya
Pemerintah Republik Indonesia dan
UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar
Situs Warisan Dunia.
[4]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun
umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci
Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
[5][6][7]
[sunting] Nama Borobudur
Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam
Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut
candi; istilah
candi
juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya
gerbang,
gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama
Borobudur tidak jelas,
[8] meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.
[8] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "
Sejarah Pulau Jawa" karya
Sir Thomas Raffles.
[9] Raffles menulis mengenai monumen bernama
borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.
[8]
Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya
bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah
Nagarakretagama, yang ditulis oleh
Mpu Prapanca pada 1365.
[10]
Nama
Bore-Budur, yang kemudian ditulis
BoroBudur,
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut
desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan
candi
memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan
istilah
Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".
[8]Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama
Budur berasal dari istilah
bhudhara yang berarti gunung.
[11]
Banyak
teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata
Sambharabhudhara, yaitu artinya "
gunung" (
bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa
etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata
borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi
borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata
bara konon berasal dari kata
vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana
bara berasal dari
bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan
beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam
bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah
biara atau
asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan
J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada
1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan
Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja
Mataram dari wangsa
Syailendra bernama
Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun
824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu
Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam
prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah
sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara
Kamūlān yang disebut
Bhūmisambhāra.
[12] Istilah
Kamūlān sendiri berasal dari kata
mula
yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan
leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa
Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
[13]
[sunting] Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari
Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar;
Gunung Sundoro-
Sumbing di sebelah barat laut dan
Merbabu-
Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit
Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan
Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu
Sungai Progo dan
Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai
dataran Kedu
adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung
sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
[14]
[sunting] Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan
ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan
candi Buddha lainnya yaitu
Candi Mendut dan
Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.
[15]
Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng
penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak
ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan
mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang
ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini
(Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam
hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan
suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.
[10]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan
beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan
tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar
Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala
di sekitar Borobudur kini disimpan di
Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan
Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut
Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu
Shiwa,
Wishnu,
Brahma, serta
Ganesha.
Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak
mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon
diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di
Museum Nasional Indonesia.
Borobudur di tengah kehijauan alam
dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265
m (870
kaki) dari permukaan laut dan 15
m (49
kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.
[16]
Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa
Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931,
seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha,
W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga
teratai yang mengapung di atas permukaan danau.
[11] Bunga teratai baik dalam bentuk
padma (teratai merah),
utpala (teratai biru), ataupun
kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh
Boddhisatwa sebagai
laksana
(lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai
lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga
teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang
kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab
Mahayana
(aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran
melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga
teratai.
[16]
Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis
ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar
monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa
kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah
daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp
dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs
ini.
[17] Sebuah penelitian
stratigrafi,
sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000
mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,
[16]
yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba
ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan
bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan
menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan
aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah bentang alam dan
topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu
gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa
Pleistosen.
[18]
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.
[19]
Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
[19] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa
Syailendra di Jawa Tengah,
[20] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan
Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 tahun dan dirampungkan pada masa pemerintahan
Samaratungga pada tahun 825.
[21][22]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan
prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
[21] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di
Dataran Kedu. Berdasarkan
Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa
Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci
Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
[23] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di
Dataran Prambanan,
meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M,
dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi
Siwa
Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya,
Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
[24] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa
Kalasan kepada
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan
Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan
Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
[24]
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa
kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik,
dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
[25]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada
masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya
yang memuja
Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan
Ratu Boko.
[26] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di
Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
wangsa Syailendra,
[26]
akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
[27]
[sunting] Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa
raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki
candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar
stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu
stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan
pembangunan Borobudur:
- Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M).
Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya
terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup
struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah.
Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya
dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida
berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang
dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli
piramida berundak.
- Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan
dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal
yang sangat besar.
- Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas
lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga
undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris
melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang
besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun
kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang
berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras
bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga
mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa
inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas
akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam
longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa
induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras
melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu
stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur
ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat
agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
- Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan
relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan
pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
[sunting] Borobudur diterlantarkan
Meletusnya
Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di
bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan
semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit.
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih
misteri. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini
tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja
Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan
Medang ke kawasan
Jawa Timur
setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan
apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan
tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai
ditinggalkan pada periode ini.
[3][16] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh
Mpu Prapanca dalam naskahnya
Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan
Majapahit.
Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976)
juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar
ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada
abad ke-15.
[3]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat
Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan
dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut
Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja
Kesultanan Mataram pada 1709.
[3] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam
Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota
Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.
[28] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi
satria yang terpenjara di dalam kurungan
(arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah
kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari
kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan
bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan
dianggap
wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau
kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah
situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah
menjadi sarang wabah penyakit seperti
demam berdarah atau
malaria.
[sunting] Penemuan kembali
Foto pertama Borobudur oleh
Isidore van Kinsbergen
(1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada
tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan
chattra (payung) susun tiga.
Setelah
Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816.
Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan
artefak-artefak
antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan
kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya
di
Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.
[28]
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak
dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan
bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya
menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan
membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman
longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia
melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai
gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan
beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen
ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.
[9]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan
Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian
bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan
atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan
arca buddha besar di stupa utama.
[29]
Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia
temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah
Hindia Belanda
menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik,
ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G.
Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas
monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana
menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi
sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi
monografi
berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama
dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan
edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.
[29] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda,
Isidore van Kinsbergen.
[30]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup
lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh
arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di
Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha
Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan
museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak
budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian
dan pencurian yang marak di monumen.
[30]
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk
menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi
aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini
berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak
dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan
ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada
tahun 1896,
Raja Thailand,
Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di
Hindia Belanda
(kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian
dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan
delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang
diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30
batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala,
tangga dan gerbang, dan arca penjaga
dwarapala
yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut
Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.
[31]
Poster tahun 1971 menyerukan upaya penyelamatan Borobudur
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan
kaki tersembunyi.
[32] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.
[33]
Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil
langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk
komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini:
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang
juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli
konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa
PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana
pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak
harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan,
memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat
pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan
stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua
batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan
hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir
sekitar 48.800
Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip
anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.
[34]
Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di
bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat
diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran
tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih
lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi
chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan
pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan
tetapi rekonstruksi
chattra hanya menggunakan sedikit batu asli
dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian
chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur
chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan
perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan
masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan
relief menunjukkan retakan dan kerusakan.
[34]
Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam
alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan
dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi
lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an,
Pemerintah Indonesia
telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk
pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana
induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.
[35] Pemerintah Indonesia dan
UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.
[34]
Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan.
Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur
sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke
dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek
kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan
menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.
[36] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar
Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
[4]
Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya
kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu
wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi,
seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan
(vi) "secara langsung dab jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau
tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan
karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang
luar biasa".
[4]
[sunting] Peristiwa kontemporer
Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh
UNESCO,
[35]
Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha.
Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat
Buddha di Indonesia memperingati hari suci
Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan
Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia
[37]
dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan
ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi
berakhir di Candi Borobudur.
[38]
Pada
21 Januari 1985, sembilan stupa
rusak parah akibat sembilan bom.
[39]
Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra,
Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan
sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an,
termasuk serangan atas Candi Borobudur.
[40]
Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun
penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun
penjara.
Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi
di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000
diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.
[6]
Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya
(80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum
Krisis finansial Asia 1997.
[7] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.
[6]
Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur
menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana
pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga
yang disebut 'Java World'.
[41]
Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor
pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar
Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali
malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata
asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya
lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks
candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin
pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks
candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir
selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan
korban terbanyak di
Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.
[42]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak
peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan
Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan
negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand,
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa,
musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan
Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali
dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang
biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya
pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung;
(ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan
pengembalian bagian-bagian yang hilang.
[43]
Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat
menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling
parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk,
tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur
bangunan.
[43]
Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang
kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan
peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan
melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan
dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas
merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah
wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan
harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.
[43]
[sunting] Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan
Gunung Merapi
pada Oktober adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi
kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya
dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan
2,5 sentimeter (1 in)
[44]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga
mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu
vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan
bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk
membersihkan luruhan debu.
[45][46]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010,
UNESCO
telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya
rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan
menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan
penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan
terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
setempat.
[47]
Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki
sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik
bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari
perkiraan semula.
[48]
Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut
Denah Borobudur membentuk
Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief
[sunting] Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah
stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola
Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan
kosmos
atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran
Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab
Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan
kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.
[49] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan
Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai
kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123
m (400
kaki)
pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras
terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk
lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.
[32] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang
Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.
[50]
Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri.
Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran
monumen.
[50] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan
Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.
[32]
Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki
tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan
Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh
kama
atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian
kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita
Karmawibhangga
yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut
tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief
pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki
asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
[2]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan
Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan
1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212
panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari
nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan
alam antara yakni, antara
alam bawah dan
alam atas.
Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau
relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432
arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di
pagar langkan.
[2]
Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang
melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu;
pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat
pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian
teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai
lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini
dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan
alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai
nirwana.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang
tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai
stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa).
Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya
berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan
cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan
polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan
patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa
utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan
tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana
jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.
[sunting] Struktur bangunan
Arca singa penjaga gerbang
Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase
Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000 meter kubik batu
andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.
[51]
Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan
disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem
interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok
lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan
tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk
"ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi
setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem
drainase
yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk
mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut,
masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa
kala atau
makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini
tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan
piramida
berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah
stupa, daripada kuil atau candi.
[51] Stupa
memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha.
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan
kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah
ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan
tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan
perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk
arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.
[52]
Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan
berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan
cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai
tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh,
tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur
tala, yaitu
panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung
dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari
kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.
[53]
Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar
individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada
1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen
ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat
dari suatu
fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.
[53][54]
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan
tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi
Angkor Wat di Kamboja.
[52]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.
[52] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4
m (13
kaki).
[51] Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7
m (23
kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2
m (6.6
kaki),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas
tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang
yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di
tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35
m (110
kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42
m (140
kaki)
. Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang
membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian
gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang
dihiasi ukiran
Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran
makara
yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur,
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus
tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi
dengan dataran di sekitarnya.
Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun
Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras
Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat
teliti dan halus.
[55]
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang
ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah,
bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian
dunia Buddha.
[56]
Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu.
Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan,
bidadari
atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti
tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh
tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau
sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya
dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan
keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan
sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
[57]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia
baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan,
serta menampilkan bentuk bangunan
vernakular tradisional Nusantara.
Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa
lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati
dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung,
istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka
tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para
peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan
Kapal Borobudur.
[58]
Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari
purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur
tersimpan di
Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
[59]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut
mapradaksina dalam bahasa
Jawa Kuna yang berasal dari
bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah
timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita
jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah
kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata
bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan
menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief |
Kaki candi asli |
----- |
Karmawibhangga |
160 |
Tingkat I |
dinding |
a. Lalitawistara |
120 |
b. jataka/awadana |
120 |
langkan |
a. jataka/awadana |
372 |
b. jataka/awadana |
128 |
Tingkat II |
dinding |
Gandawyuha |
128 |
langkan |
jataka/awadana |
100 |
Tingkat III |
dinding |
Gandawyuha |
88 |
langkan |
Gandawyuha |
88 |
Tingkat IV |
dinding |
Gandawyuha |
84 |
langkan |
Gandawyuha |
72 |
Jumlah |
1460 |
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi
dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut
bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief
tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia
disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan
baik manusia dan
pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (
samsara)
yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah
yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara
yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief
Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara
candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan
relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai
dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet
dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief
sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura
tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai
persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa
selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha
di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan
Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120
pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis
dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut
dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka
adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong
yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga.
Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah
fabel
yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir
seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik
merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan
tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab
Diwyawadana
yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana,
diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama
tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang
Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair
Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita
Sudhana
yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan
Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam
460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul
Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya
yaitu Bhadracari.
Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding,
di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi
teratai serta menampilkan
mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
[2]
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat
Rupadhatu, diatur
berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin
berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari
104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris
keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432
arca Buddha di tingkat
Rupadhatu.
[1] Pada bagian
Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam
stupa-stupa
berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32
stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa,
semuanya total 72 stupa.
[1]
Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini,
kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh
museum luar negeri).
[60]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada
mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan
mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran
Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat
mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan
mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan
mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing
mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
[61]
Mengikuti urutan
Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka
mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:
|
Bhumisparsa mudra |
Memanggil bumi sebagai saksi |
Aksobhya |
Timur |
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur |
|
Wara mudra |
Kedermawanan |
Ratnasambhawa |
Selatan |
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan |
|
Dhyana mudra |
Semadi atau meditasi |
Amitabha |
Barat |
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat |
|
Abhaya mudra |
Ketidakgentaran |
Amoghasiddhi |
Utara |
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara |
|
Witarka mudra |
Akal budi |
Wairocana |
Tengah |
Relung di pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatu semua sisi |
|
Dharmachakra mudra |
Pemutaran roda dharma |
Wairocana |
Tengah |
Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu |
[sunting] Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur
- 1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
- 1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.
- 1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
- 1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
- 1968 - Pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
- 1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
- 1972 - International Consultative Committee
dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai
ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika
Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya
ditanggung Indonesia.
- ^ a b c Soekmono (1976), halaman 35–36.
- ^ a b c d Kartapranata, Gunawan, "Upacara Waisak di Borobudur (Infografik)", (Harian "Kompas"), 1 Juni 2007.
- ^ a b c d Soekmono (1976), halaman 4.
- ^ a b c "Borobudur Temple Compounds". UNESCO World Heritage Centre. UNESCO. Diakses pada 28 Desember 2008.
- ^ Indonesia. Melbourne: Lonely Planet Publications Pty Ltd. 1 November 2003. hlm. 211–215. ISBN 1-74059-154-2..
- ^ a b c Mark P. Hampton (2005). "Heritage, Local Communities and Economic Development". Annals of Tourism Research 32 (3): 735–759. doi:10.1016/j.annals.2004.10.010.
- ^ a b E.
Sedyawati (1997). "Potential and Challenges of Tourism: Managing the
National Cultural Heritage of Indonesia". W. Nuryanti (ed.) Tourism and Heritage Management: 25–35, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
- ^ a b c d Soekmono (1976), halaman 13.
- ^ a b Thomas Stamford Raffles (1817). The History of Java (edisi ke-1978). Oxford University Press. ISBN 0-19-580347-7.
- ^ a b J. L. Moens (1951). "Barabudur, Mendut en Pawon en hun onderlinge samenhang (Barabudur, Mendut and Pawon and their mutual relationship)" (PDF). Tijdschrift voor de Indische Taai-, Land- en Volkenkunde (Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen): 326–386. "trans. by Mark Long".
- ^ a b J.G. de Casparis, "The Dual Nature of Barabudur", in Gómez and Woodward (1981), halaman 70 dan 83.
- ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 46.
- ^ Walubi. "Borobudur : Candi Berbukit Kebajikan".
- ^ Soekmono (1976), halaman 1.
- ^ N. J. Krom (1927). Borobudur, Archaeological Description. The Hague: Nijhoff. Diakses pada 17 Agustus 2008.
- ^ a b c d Murwanto,
H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F (2004).
"Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake:
chronostratigraphic evidence and historical implications". The Holocene 14 (3): 459–463. doi:10.1191/0959683604hl721rr.
- ^ R.W. van Bemmelen (1949). The geology of Indonesia, general geology of Indonesia and adjacent archipelago, vol 1A, The Hague, Government Printing Office, Martinus Nijhoff. cited in Murwanto (2004).
- ^ Newhall
C.G., Bronto S., Alloway B., Banks N.G., Bahar I., del Marmol M.A.,
Hadisantono R.D., Holcomb R.T., McGeehin J., Miksic J.N., Rubin M.,
Sayudi S.D., Sukhyar R., Andreastuti S., Tilling R.I., Torley R.,
Trimble D., and Wirakusumah A.D. (2000). "10,000 Years of explosive
eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern
implications". Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (1): 9–50. doi:10.1016/S0377-0273(00)00132-3.
- ^ a b Soekmono (1976), halaman 9.
- ^ Miksic (1990)
- ^ a b Dumarçay (1991).
- ^ Paul Michel Munoz (2007). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Didier Millet. hlm. 143. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ W. J. van der Meulen (1977). "In Search of "Ho-Ling"". Indonesia 23: 87–112.
- ^ a b W. J. van der Meulen (1979). "King Sañjaya and His Successors". Indonesia 28 (28): 17–54. doi:10.2307/3350894.
- ^ Soekmono (1976), halaman 10.
- ^ a b D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353–359. doi:10.2307/2754037.
- ^ Roy E. Jordaan (1993). Imagine Buddha in Prambanan: Reconsidering the Buddhist Background of the Loro Jonggrang Temple Complex. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Ocenanië, Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN 90-73084-08-3.
- ^ a b Soekmono (1976), halaman 5.
- ^ a b Soekmono (1976), halaman 6.
- ^ a b Soekmono (1976), halaman 42.
- ^ John Miksic, Marcello Tranchini, Anita Tranchini (1996). "Borobudur: Golden Tales of the Buddhas". Tuttle publishing. p. 29. Diakses pada 2 April 2012.
- ^ a b c "Borobudur Pernah Salah Design? ", (Kompas), 7 April 2000. Diarsipkan dari aslinya, tanggal 26 December 2007. Diakses pada 23 Agustus 2008.
- ^ Soekmono (1976), halaman 43.
- ^ a b c UNESCO (31 August 2004). UNESCO experts mission to Prambanan and Borobudur Heritage Sites. Rilis pers.
- ^ a b Caesar
Voute; Voute, Caesar (1973). "The Restoration and Conservation Project
of Borobudur Temple, Indonesia. Planning: Research: Design". Studies in Conservation 18 (3): 113–130. doi:10.2307/1505654.
- ^ UNESCO. Cultural heritage and partnership; 1999 (PDF). Rilis pers. Diakses pada 17 August 2008.
- ^ Coordinating Ministry for Public Welfare. Keputusan Bersama tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2006 (dalam Indonesian). Rilis pers. Diakses pada 17 August 2008.[pranala nonaktif]
- ^ "The Meaning of Procession". Waisak. Walubi (Buddhist Council of Indonesia). Diakses pada 28 Desember 2008.
- ^ "1,100-Year-Old Buddhist Temple Wrecked By Bombs in Indonesia ", (The Miami Herald), 22 Januari 1985. Diakses pada 17 Agustus 2008.
- ^ Harold Crouch (2002). "The Key Determinants of Indonesia's Political Future" (PDF). Institute of Southeast Asian Studies 7. ISSN 0219-3213.
- ^ Jamie James. "Battle of Borobudur ", (Time), 27 Januari 2003. Diakses pada 23 Agustus 2008.
- ^ Sebastien Berger. "An ancient wonder reduced to rubble ", (The Sydney Morning Herald), 30 Mei 2006. Diakses pada 23 Agustus 2008.
- ^ a b c "Section II: Periodic Report on the State of Conservation". State of Conservation of the World Heritage Properties in the Asia-Pacific Region. UNESCO World Heritage. Diakses pada 23 Februari 2010.
- ^ "Covered in volcanic ash, Borobudur closed temporarily". from, Magelang, C Java (by ANTARA News). 6 November 2010. Diakses pada 6 November 2010.
- ^ "Borobudur Temple Forced to Close While Workers Remove Merapi Ash". Jakarta Globe. 7 November 2010. Diakses pada 7 November 2010.
- ^ "Inilah Foto-foto Kerusakan Candi" (dalam bahasa Indonesian). Tribun News. 7 November 2010. Diakses pada 7 November 2010.
- ^ "Borobudur’s post-Merapi eruption rehabilitating may take three years: Official ", 17 Februari 2011.
- ^ http://www.thejakartapost.com/news/2011/06/28/borobudur-clean-finish-november.html
- ^ A. Wayman (1981). "Reflections on the Theory of Barabudur as a Mandala". Barabudu History and Significance of a Buddhist Monument, Berkeley: Asian Humanities Press.
- ^ a b Soekmono (1976), halaman 18.
- ^ a b c Soekmono (1976), halaman 16.
- ^ a b c Caesar Voûte and Mark Long. Borobudur: Pyramid of the Cosmic Buddha. D.K. Printworld Ltd. Diakses pada 17 Agustus 2008.
- ^ a b Atmadi (1988).
- ^ H. Situngkir (2010). "Borobudur Was Built Algorithmically". BFI Working Paper Series WP-9-2010 (Bandung Fe Institute).
- ^ "Borobudur" (dalam bahasa Inggris). Buddhist Travel. 17 April 2008. Diakses pada 11 November 2011.
- ^ Tom Cockrem, Sydney Morening Herald, May 18, 2008 (2008). "Temple of enlightenment" (dalam bahasa Inggris). The Buddhist Channel.tv. Diakses pada 11 November 2011.
- ^ "Surasundari" (dalam bahasa Inggris). Art and Archaeology.com. Diakses pada 11 November 2011.
- ^ "The Cinnamon Route" (dalam bahasa inggris). Borobudur Park. Diakses pada 14 Desember 2011.
- ^ "The Borobudur Ship Expedition, Indonesia to Africa 2003-2004" (dalam bahasa inggris). The Borobudur Ship Expedition. 17 April 2004. Diakses pada 14 Desember 2011.
- ^ Hiram W. Woodward Jr. (1979). "Acquisition". Critical Inquiry 6 (2): 291–303. doi:10.1086/448048.
- ^ Roderick S. Bucknell and Martin Stuart-Fox (1995). The Twilight Language: Explorations in Buddhist Meditation and Symbolism. UK: Routledge. ISBN 0700702342.